Pesantren Sebagai Satuan dan Penyelenggara Pendidikan
Pesantren Sebagai Satuan dan Penyelenggara Pendidikan
Ini adalah bagian kedua tulisan Memahami Pesantren Pasca Undang-Undang No. 18.2019, yang diberi judul Pesantren Sebagai Satuan dan Penyelenggara Pendidikan. Untuk membaca tulisan pertama, anda dapat mengakses melalui tautan berikut:
Para akademisi umumnya membagi pesantren ke dalam beberapa tipologi, mulai dari tradisional-salaf sampai modern. Pertanyaannya, apakah klasifikasi tipologi tersebut masih relevan untuk memotret pesantren saat ini? Apakah klasifikasi tersebut dapat membantu untuk memahami konstruksi pesantren dalam UU?.
Abasri (dalam Nizar, 2007) misalnya mengklasifikasikan pesantren ke dalam 3 tipologi. Pertama, pesantren tradisional, pesantren yang masih tetap mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya dalam arti tidak mengalami transformasi yang berarti dalam sistem pendidikannya atau tidak ada inovasi yang menonjol dalam corak pesantren ini. Pada biasanya, pesantren yang bercorak demikian ini masih eksis di daerah-daerah pedalaman atau pedesaan. Yang menjadi fokus utama pesantren tradisional adalah pendalaman ilmu-ilmu agama (tafaqquh fiy al-din). Sumber rujukan yang digunakan hanya mengandalkan kitab kuning. Jenis pesantren seperti ini bersifat otonom dari pemerintah karena pesantren jenis ini tidak memiliki sangkut paut dengan sistem pendidikan nasional, karena itulah pesantren jenis ini kerap juga disebut pesantren salaf.
Kedua, pesantren post-tradisional, corak pendidikan pada pesantren ini sudah mulai mengadopsi sistem pendidikan modern, tetapi tidak sepenuhnya. Misalnya metode pengajaran dan beberapa rujukan tambahan untuk menambah wawasan para santri.
Ketiga, pesantren modern atau sering disebut pesantren khalaf. Pesantren corak ini telah mengalami transformasi yang sangat signifikan baik dalam sistem pendidikannya maupun unsur-unsur kelembagaannya. Materi dan metodenya sudah sepenuhnya menganut sistem modern. Dalam pesantren jenis ini, sudah dijumpai institusi pendidikan modern seperti sekolah-sekolah dan bahkan perguruan tinggi.
Kafrawi Ridwan (1978) membagi pesantren ke dalam empat tipe. Pertama, pesantren di mana pesantren tidak memiliki madrasah, sehingga para santri belajar dan bertempat tinggal bersama-sama dengan kiai, dan kiai mengajar secara individual dengan kurikulum terserah kiai.
Kedua, pondok pesantren di mana telah memiliki madrasah, kurikulum tertentu, sehingga pengajaran kiai lebih menitikberatkan pada aplikasi karena pengajaran pokok dilakukan melalui madrasah yang didirikannya.
Ketiga, pondok pesantren di mana pesantren hanya tempat tinggal (asrama), sementara santri belajar di madrasah-madrasah atau sekolah umum di luar pesantren, sehingga kiai berfungsi sebagai pengawas dalam pembinaan mental.
Keempat, pondok pesantren di mana pesantren telah menyelenggarakan sekolah umum atau sekolah umum dengan sistem pondok.
Klasifikasi tipologi tersebut umumnya dilakukan akademisi/peneliti terkait dengan bagaimana pesantren merespons modernisasi, terutama di bidang pendidikan. Karena itu, yang menjadi optik untuk membaca pesantren adalah apakah dalam pesantren tersebut tersedia pendidikan umum atau tidak.
Dalam hemat saya, klasifikasi tersebut perlu ada pembaruan, terutama sejak terbitnya UU No.18 tahun 2019 tentang pesantren. Selain itu, klasifikasi tipologi pesantren tersebut secara regulatif tidak disebutkan dalam UU. Dengan adanya pembaruan klasifikasi pesantren maka diharapkan dapat mempermudah memahami pesantren, terutama bagi pengambil kebijakan untuk melaksanakan amanat UU.
Penyelenggara dan Satuan
Jika membaca UU No. 18/2019 tentang pesantren, pesantren harus dibaca dalam dua optik sekaligus: sebagai penyelenggara, dan sebagai satuan pendidikan.
Sebagai penyelenggara pendidikan, pesantren – sebagaimana yayasan pada umumnya–dapat menyelenggarakan berbagai jenis dan satuan pendidikan, baik formal maupun non formal, seperti Madrasah, Sekolah, Perguruan Tinggi, Madrasah Diniyah, Pendidikan al-Qur’an, Majelis Taklim, dan lain sebagainya.
Yang berbeda dengan yayasan pada umumnya, pesantren sebagai penyelenggara pendidikan tetap diwajibkan memenuhi rukun pesantren (kiai, masjid/musholla, santri mukim, asrama, kitab kuning) dan ketiga fungsi pesantren (fungsi pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat). Artinya tidak semua yayasan yang menyelenggarakan pendidikan dapat dikategorikan sebagai pesantren.
Sementara itu, pesantren sebagai satuan pendidikan dapat diklasifikasikan ke dalam dua bentuk: formal dan non formal. Satuan pendidikan formal pada jenjang pendidikan dasar dan Menengah berupa Pendidikan Muadalah (Salafiyah dan Muallimin), Pendidikan Diniyah Formal. Sementara satuan pendidikan formal pada jenjang pendidikan tinggi bernama Ma’had Aly, untuk jenjang S1 disebut Marhalah Ula, S2 disebut Marhalah Tsani, dan jenjang S3 disebut Marhalah Tsalist.
Pendidikan Non Formal Pesantren memiliki dua jenis satuan pendidikan: pengkajian kitab kuning dan pendidikan terintegrasi dengan pendidikan umum yang dapat dilaksanakan secara berjenjang dan tidak berjenjang. Pendidikan non Formal Pesantren jenis pengkajian kitab kuning ini format awal pendidikan pesantren. Metode pembelajarannya lebih banyak dilangsungkan dalam bentuk sorogan dan bandongan.
Untuk menjaga dan meningkatkan mutu satuan pendidikan pesantren tersebut, UU ini mengamanatkan pembentukan Dewan Masyayikh di masing-masing pesantren yang bertugas sebagai lembaga penjaminan mutu internal pesantren, dan Majelis Masyayikh sebagai lembaga penjaminan mutu eksternal pesantren.
Jalur dan jenis masing-masing satuan ini serta bagaimana amanat pelaksanaan penjaminan mutu akan diulas pada tulisan berikut-berikutnya
Hatim Gazali
(Tenaga Ahli Majelis Masyayikh / Pengurus Rabithah Ma’ahid Islamiyah PBNU/Dosen Universitas Sampoerna /)