Pesantren: Makna dan Misi Etika-Moralitas
Kekerasan seksual di pesantren, yang bahkan dilakukan oleh “pengasuh” pesantren, menuntut para pemangku pesantren untuk kian meneguhkan misi etika-moralitas luhur dalam berbagai dimensinya.
Akhir-akhir ini, media massa dan media sosial dipenuhi berita pelecehan seksual dan sejenisnya yang terjadi di beberapa lembaga (yang orang menyebutnya) pondok pesantren. Kasus yang terjadi di dunia pendidikan ini demikian cepat viral. Sebab, pesantren yang senyatanya merupakan lembaga penjaga dan pengembangan etika-moralitas luhur justru dilihat masyarakat menjadi tempat penghancuran moralitas itu sendiri.
Menyikapi peristiwa yang sangat memprihatinkan itu, kita harus membaca dan mendekatinya secara kritis-analitis dan sekaligus penuh kearifan. Kita niscaya memiliki pemahaman memadai tentang makna dan hakikat pesantren. Dari sini, kita lalu mencermati profil lembaga pendidikan tempat terjadinya pelecehan seksual atau bahkan pencabulan itu. Dengan pengetahuan yang cukup itu, kita diharapkan memiliki sikap dan upaya yang tepat dalam mengeleminasi kejadian serupa ke depan.
Membaca pesantren
Secara historis, pesantren merupakan pendidikan keagamaan indigenous tertua di Bumi Pertiwi. Sunan Ampel dianggap pionir kalau tidak orang pertama yang mendirikan dan mengembangkan pendidikan keagamaan Islam dengan model yang sekarang dikenal dengan nama pesantren. Konon, Sunan Giri dan Sunan Bonang mengembangkan lebih jauh pendidikan pesantren tersebut.
Dari saat ke saat lembaga ini terus berkembang di sejumlah daerah. Sebut saja Pesantren Buntet Cirebon, Pesantren Jamsaren, Pesantren Tebuireng di Jombang, Pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren Sidogiri Pasuruan, Pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan, dan Pesantren Sukorejo Situbondo. Dari pesantren-pesantren yang menjadi rujukan ini, para alumnusnya kemudian mendirikan dan mengembangkan pesantren sendiri-sendiri hingga terus berkembang luas di sejumlah daerah sampai saat ini.
Berbeda dengan lembaga pendidikan yang lain, pesantren selain menitikberatkan kepada kontekstualisasi ajaran dan nilai Islam ke dalam ruang dan waktu, juga sangat menekankan kepada pembentukan dan pengembangan al-akhlak al-karimah. Menurut Gus Dur (Jurnal Pesantren, 1985), salah satu karakteristik utama keilmuan pesantren adalah kurikulumnya yang serba fiqh-sufistik; pengembangan dan pembumian ilmu fiqh (hukum Islam) yang didasari nilai-nilai keluhuran etik-moralitas.
Nilai-nilai kejujuran, kemandirian, keikhlasan, menghormati sesama, kesederhanaan, zuhud atau tidak menuhankan dunia dan sejenisnya menjadi konsen utama pendidikan dunia pesantren. Dalam bahasa Dhofier (Tradisi Pesantren, 1982), tujuan pendidikan pesantren bukan sekadar untuk menguatkan intelektualitas. Namun, aspek yang lebih penting ialah untuk mempertajam moralitas, mengembangkan semangat, menghargai nilai-nilai spiritualitas dan kemanusiaan, serta membekali santri dengan hidup sederhana dan kebersihan hati.
Hal pokok lain dari karakteristik pesantren ialah keislaman yang dianut dan dikembangkan yang senyatanya bermazhab Ahli Sunnah wal Jamaah (Aswaja). Dalam sejarahnya, setiap pesantren memiliki mata rantai keilmuan yang menghubungan selain antara satu pesantren dan pesantren lain, juga menghubungkan sanad kiai dengan kiai atau ulama yang lain yang bersambung terus dan dapat dilacak sampai ke Rasulullah (SAW).
Untuk itu, pesantren tidak bisa disamakan dengan sekadar lembaga pendidikan berasrama biasa. Pesantren—meminjam hasil penelitian Dhafier—niscaya terdiri dari unsur pondok, masjid, santri, kiai, dan pengajaran kitab-kitab klasik (kuning).
Elemen-elemen tersebut merupakan kesatuan yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan dan tidak dapat dikurangi. Kiai sebagai teladan dalam sikap dan perilaku, dan kitab kuning yang syarat dengan nilai-nilai sufistik sebagai rujukan utama, merupakan dua unsur yang mendasari kehidupan santri dan pesantren. Alfa omega dari semua itu ialah keluhuran pandangan, sikap dan perilaku santri dan masyarakat pesantren secara keseluruhan.
Komitmen pesantren untuk mengembangkan keilmuan keagamaan Islam yang disandingkan dengan peneguhan dan pembumian nilai-nilai etika moralitas luhur telah menjadikan pesantren sebagai kawah candradimuka keilmuan agama dan akhlak mulia di bumi Nusantara. Dari lembaga ini bermunculan ulama, pejuang, dan tokoh nasional ataupun internasional yang tidak diragukan lagi keilmuan agama dan integritas kepribadian mereka.
Meneguhkan peran moral
Pelecehan seksual yang terjadi di lembaga (yang orang menyebut) pesantren akhir-akhir ini menuntut kita untuk mencermati “pesantren-pesantren” tempat peristiwa itu berada. Dengan menelisik lembaga yang di dalamnya “pengasuh”-nya bermasalah, dan kita mendekatinya dengan menggunakan makna pesantren yang baku, kita akan mendapati nyaris semua bukan pesantren sebagaimana dalam sejarah pesantren Nusantara dan bukan dalam arti pesantren yang hakiki.
Di pesantren-pesantren tersebut, kalau tidak kurikulumnya yang tidak menggunakan kitab turats klasik yang standar, mungkin dari keilmuan yang dikembangkan yang tidak memiliki sanad keilmuan dalam bingkai Aswaja yang telah menjadi tradisi pesantren Nusantara. Alhasil, pesantren yang memiliki masalah itu lebih bersifat asrama ketimbang dalam pengertian pesantren yang sebenarnya.
Terlepas dari itu, adanya kejadian yang sangat memprihatinkan di dunia pendidikan yang dilabeli agama itu menuntut para pemangku pesantren untuk kian meneguhkan misi etika-moralitas luhur dalam berbagai dimensinya. Pesantren tidak memiliki pilihan lagi selain harus menjadi rujukan dalam pembumian dan penyebaran etika-moralitas luhur bukan hanya di Indonesia, tetapi juga dunia global.
Ulama dan tokoh pesantren, semisal Gus Mus (KH Mustofa Bisri), sudah saatnya untuk lebih meneguhkan lagi perannya dalam mengeliminasi–minimal mengurangi–degradasi moral yang kian marak mengotori kehidupan umat manusia dewasa ini.
__________________________________________________________________________________________________________________
Oleh: Prof. Dr. KH. Abd. A'la Basyir, M.Ag. - Anggota Majelis Masyayikh; Abdhi Pesantren Annuqayah Latee Sumenep; Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya; Rois Syuriyah PBNU.
Opini telah dimuat di Kompas.id pada 6 Agustus 2022: https://app.komp.as/pBjU6MKQ8HePoH8d8