Memahami Pesantren Pasca Undang-Undang No.18/2019 

Pertama-tama, tulisan ini akan berfokus pada bagaimana memahami Pasca UU No. 18 tahun 2019. Karena itulah, tulisan ini akan diawali dengan bagaimana memahami pesantren mulai dari sejarah pembentukannya, kemudian akan dilanjutkan dengan beberapa isu strategis dalam UU ini. Kedua, saya akan membagi tulisan ini ke dalam beberapa bagian (serial) untuk memudahkan para pembaca memahami pesantren, terutama bagi kalangan yang belum familiar dengan pesantren.  

*****

Pada Mulanya

Pesantren adalah lembaga pendidikan genuine Indonesia yang telah berdiri sejak abad 16 M. Pada mulanya, pesantren tidak seperti lembaga pendidikan yang terlihat seperti sekarang ini, di mana gedung-gedung berdiri menjulang tinggi dan asrama santri berderet-deret. 

Pesantren bermula dari bertemunya dua pihak: 1) orang yang pintar ilmu-ilmu keislaman (alim allamah) yang dalam tradisi Jawa disebut sebagai Kiai atau Teungku (Aceh), Gurutta (Bugis), Ajengan (Sunda), dan sebutan lainnya. 2) orang yang mau belajar ilmu keislaman yang belakangan disebut dengan santri atau murid. Sebagian ilmuwan menjelaskan bahwa istilah santri ini berasal dari bahasa Tamil yang berarti “guru mengaji”, ada juga yang mengatakan berasal dari kata India “shastri” yang berarti orang memiliki pengetahuan kitab suci. Ada juga yang mengatakan sebutan santri berasal dari kata “cantrik” (bahasa Sansekerta atau Jawa) yang berarti orang yang selalu mengikuti guru. 

Pertemuan kedua pihak tersebut (Kiai dan Santri) pada mulanya berlangsung secara informal baik di rumah Kiai ataupun di tempat-tempat ibadah seperti langgar, musholla, dan sebagainya. Artinya, rumah santri dan Kiai tersebut tidak begitu jauh, sejauh yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki atau alat transportasi seperti berkuda. Kiai memberikan pelajaran ilmu keislaman di waktu yang ditentukan atau disepakati kedua belah pihak, yang biasanya dilakukan setelah melakukan shalat maktubah. 

Seiring bertambahnya santri, bahkan dari daerah yang jauh, Kiai kemudian menyediakan tempat untuk tinggal para santri tersebut, baik di rumahnya Kiai sendiri atau tempat tinggal khusus baik yang dibangun oleh Kiai ataupun oleh santri sendiri. Dengan bertambahnya santri, maka dibuatlah aturan-aturan yang diperlukan, terutama yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan dasar: memasak, menjaga kebersihan, dan sebagainya. Tak hanya kebutuhan dasar manusia, aturan-aturan juga dibuat terkait pelaksanaan ajaran dan nilai agama yang diajarkan; seperti shalat berjamaah, sopan santun (akhlak-adab), dan bahkan bacaan wirid untuk menopang pelajaran agama Islam. 

Kiai senantiasa mendasarkan ilmu-ilmu keislamannya menggunakan referensi otoritatif, yaitu Kitab Kuning, sebuah buku yang lazimnya menggunakan kertas berwarna kuning, menggunakan bahasa Arab, yang berisi ilmu-keislaman, dari yang dasar sampai tinggi. Kitab kuning rujukannya pun biasanya berdasarkan pada kitab kuning yang pernah diajari oleh gurunya. Ini yang disebut dengan sanad keilmuan, ketersambungan ilmu Kiai kepada guru sampai ke tabi’in, sahabat, dan Nabi Muhammad. 

Pada mulanya, pesantren tidak mengenal waktu belajar (baik jam maupun bulan) sebagaimana sekolah / madrasah saat ini. Waktu belajarnya ditentukan atau disepakati bersama. Pembelajaran dapat dilangsungkan kapan saja. Di waktu-waktu tertentu, pembelajaran dikosongkan, ketika misalnya, sedang berlangsung cocok tanam (bertani), atau ketika melaut mencari ikan. Para santri membantu Kiai bertani, membangun / renovasi tempat tinggal (asrama), musholla, dan lain-lain. 

Abah saya, KH. Ghazali Ahmadi (1945-2021), sering bercerita sewaktu menjadi santri KHR. As’ad Syamsul Arifin (sejak tahun 1958 sampai tahun 1980) bahwa beliau diminta untuk menjadi tukang bangunan. Bahkan, ilmu tentang bentuk rumah, mengaduk semen, dan memasang bata diajari langsung oleh Kiai As’ad. 

Masyarakat sekitar pesantren terus bertumbuh pesat seiring dengan berkembangnya pesantren, baik dari aspek ekonomi masyarakat maupun pemahaman keislamannya. Pesantren menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat. Tak ada pagar pembatas antara pesantren dengan rumah-rumah penduduk sekitarnya. Santri bersama Kiai juga turut terlibat dalam kegiatan-kegiatan masyarakat, sebaliknya masyarakat juga membantu pesantren. 

Konstruksi pesantren yang seperti itulah yang ditangkap oleh UU No.18 tahun 2019, sehingga UU ini menyebutkan 5 hal pokok yang harus ada di pesantren: Kiai/sebutan lainnya, santri mukim, masjid/mushola, asrama, dan kitab kuning. Kelimanya itu wajib mutlak ada di pesantren sebagai rukun pesantren, sehingga lembaga yang tidak memenuhi kelima rukun tersebut tidak masuk dalam kategori pesantren menurut UU ini atau tidak menjadi subyek dari UU ini. Ini penting karena ada beberapa bangunan yang dinamakan pesantren, sekalipun tidak memenuhi kelima rukun tersebut. 

Dari peran-peran yang dilakukan di atas, pesantren bukan sekedar lembaga pendidikan tetapi juga pusat dakwah Islam dan pemberdayaan masyarakat. Melalui pesantren, ajaran-ajaran Islam tersebar sangat masif. Demikian juga, pesantren yang karakteristiknya tak terpisahkan dari masyarakat menjadikan pesantren dan masyarakat secara mutualistik saling memberdayakan. 


Hatim Gazali

(Tenaga Ahli Majelis Masyayikh / Pengurus Rabithah Ma’ahid Islamiyah PBNU/Dosen Universitas Sampoerna /)

 


 

ARTIKEL TERKAIT